Senin, 25 Mei 2015

Tugas Makalah Kelompok 8



MAKALAH PENGETAHUAN LINGKUNGAN
(SUMBERDAYA ALAM)





Disusun Oleh:
Nama/NPM    : 1.Andy Permana                 /30411836
                            
2.Dimas Khameswara           /32411119
                              3.M. Jalaludin Irsyad            /39411257 
Kelompok      :8
Kelas               :3ID01 (Pengulangan)














JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015
 






 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Setiap manusia melakukan aktivitas seperti bekerja, bertani, berdagang, belajar yang menyangkut dengan profesi mereka masing-masing, seperti pelajar yang bersekolah, dokter dipuskesmas dan rumah sakit. Untuk mempelancar aktivitas mereka dipengaruhi dengan keadaan lingkungan seperti banjir yang menghalangi keberhasilan aktivitas mereka dengan merusak saran dan prasarana penunjang aktivitas.  
Dampak yang ditimbulkan dari pada bencana alam seperti banjir yang dapat merusak sarana dan prasaran yang  mengganggu aktivitas manusia dapat diperkecil dengan cara melakukan penanaman pohon, mengurangi penebangan pohon tidak membuang sampah dikali atau disungai. Untuk mencapai tujuan mengurangi dampak dari pada bencana alam seperti banjir, diperlukan kerja sama dari semua element masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan dan menaati peraturan yang dapat memberikan dampak besar terhadap kerusakan lingkungan.
Pada penulisan makalah ini akan mengangkat kasus dampak bencana alam seperti banjir bandang dikota solo bagian utara akibat luapan kali pepe dan menyebabkan lumpuhnya aktivitas 10 sekolah dan 1 puskesmas. Dengan harapan bagi masyarakat kota solo maupun masyarakat indonesia agar bisa mengurangi dampak rusaknya fasilitas akibat terkena bencana alam.

1.2       Perumusan Masalah
            Perumusan masalah diajukan untuk menentukan permasalah dari pembahasan makalah. Perumusan masalah tersebut adalah bagaimana solusi dari pengurangan kerusakan fasilitas publik akibat bencana alam (banjir).

1.3       Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan merupakan hal penting dalam makalah ini untuk menjawab permasalah yang ada khususnya masalah bencana alam (banjir). Tujuan penulisan makalah ini, antara lain:
1.      Mengetahui dampak apa yang ditimbulan atau diakibatkan dari bencana alam (banjir).
2.      Mengetahui solusi berdasarkan kasus bencana alam (banjir).

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1       Sumberdaya Alam Dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Sumberdaya adalah suatu yang memiliki nilai guna. Sumberdaya alam adalah keseluryuhan faktor fisik, kimia, biologi dan sosial yang membentuk lingkungan sekitar kita. Hunker (1964 dalam cutter,dkk,2004) menyatakan bahwa sumberdaya alam adalah semua yang berasal dari bumi, biosfer, dan atmosfer, yang keberadaanya tergantung pada aktivitas manusia. Semua bagian lingkungan alam kita (biji-bijian, pepohonan, tanah, air, udara, matahari, sungai) adalah sumberdaya alam. Bagaimana keberadaan sumberdaya alam tersebut sangat tergantung pada pilihan-pilihan bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh umat manusia. Biji, benih, pohon, air, udara, matahari, sungai, dikatakan sumberdaya ketika kita mengetahui nilai gunanya. They are the ‘neutral stuff’ that makes up the world, but they become resources when we find utility in them (Hunker, 1964) Ugm, 2015.

2.2       Ekologi
Ekologi adalah ilmu yang memperlajari hubungan timbal balik antara organism-organisme hidup dengan lingkunganya. Berasal dari kata yunani oikos (habitat) dan logos (ilmu). Sangat diperhatikan dengan hubungan energy dan menemukannya kembali kepada matahari kita yang merupakan sumber energy yang digunakan dalam fotosintesis.
Habitat (berasal dari kata dalam bahasa latin yang berarti menempati) adalah tempat suatu spesies tinggal dan berkembang. Pada dasarnya, habitat adalah lingkungan paling tidak lingkungan fisiknya disekeliling populasi suatu spesies yang mempegaruhi dan dimafaatkan oleh spesies tersebut. Menurut Clements dan Sheford (1993), habitat adalah lingkungan fisik yang ada disekitar suatu spesies, atau populasi spesies, atau kelompok spesies, atau komunitas.
Dalam ilmu ekologi, bila pada suatu tempat yang sama hidup berbagai kelompok spesies (mereka berbagai habitat yang sama) maka habitat tersebut disebut sebagai biotope. Bioma adalah sekelompok tumbuhan dan hewan yang tinggal disuatu habitat pada suatu lokasi geografis tertentu.
Ekologi adalah dasar pokok ilmu lingkungan, inti permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya adalah ekologi yakni hubungan makluk hidup, khususnya manusia dengan lingkunganya. Komponen-komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Misalnya pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan, tumbuhan air, plankton yang terapung di air sebagai kompenen biotik, sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlaru dalam air.

2.3  Ilmu Lingkungan
Ilmu lingkungan adalah ekologi yang menerapkan berbagai azas dan konsepnya kepada masalah yang lebih luas, yang menyangkut pula hubungan manusia dengan lingkunganya. Ilmu lingkungan adalah ekologi terapan ilmu lingkungan ini mengintergrasikan berbagai ilmu yang mempelajari hubungan timbale balik antara jasad hidup (termasuk manusia) dengan lingkungnya.
Ilmu lingkungan (environmental science atau envirology) adalah ilmu yang mempelajari tentang lingkungan hidup. Ilmu lingkungan adalah suatu studi yang sitematis mengenai lingkungan hidup dan kedudukan manusia yang pantas didalamnya. Perbedaam utama ilmu lingkungan dan ekologi adalah dengan adanya misi untuk mencari pengetahuan yang arif, tepat (valid), baru, dan menyeleruh tentang alam sekitar, dan dampak perlakukan manusia terhadap alam. Misi tersebut adalah untuk menimbulkan kesadaran, penghargaan, tanggung jawab, dan keberpihakan terhadap manusia dan lingkungan hidup secara menyeluruh.
Ilmu lingkungan merupakan perpaduan konsep dan asas berbagai ilmu (terutama ekologi, ilmu lainnya; biologi, biokimia, hidrologi, pceampgrafo, meteorology, ilmu tanah, geograsi, demografi, ekonomi dan sebagainya). Yang bertujuan untuk mempelajari dan memecahkan masalah yang menyangkut hubungan antara mahluk hidup dengan lingkunganya. 
           Ilmu lingkungan merupakan penbaran atau terapan dari ekologi.  Ilmu Lingkungan merupakan salah satu ilmu yang mengitergrasikan berbagai ilmu yang mempelajari jasad hidup (termasuk manusia) dengan lingkungnya, antara lain aspek social, ekonomi, kesehatan, pertanian, sehingga ilmu ini dapat dikatakan sebagai suatu poros, tempat berbagai asas dan konsep berbagai ilmu saling terkait satu sama lain untuk mengatasi masalah hubungan antara jasad hidup dengan lingkungnnya myulifar, 2015.

2.4       Azas-Azas Pengetahuan lingkungan
Azas pengetahuan lingkungan adalah prinsip atau aturan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan. Terdapat kondisi dan tata hubungan antar kompenen lingkungan mempunya keteraturan atau menganut asas tertentu, bermanfaat untuk landasan pengelolaan lingkungan, penyimpangan asas dapat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Azas didalam suatu ilmu pada dasarnya merupakan penyamarataan kesimpulan secara umum, yang kemudian digunakan sebagai landasan untuk menguraikan gejala (fenomena) dan siatuasi yang lebih spesifik. Azas dapat terjadi melalui suatu penggunaan dan pengujian metodologi secara terus menerus dan matang, sehingga diakui kebenarannya oleh ilmuan secara meluas. Tetapi ada pula azas yang hanya diakui oleh segolongan ilmuwan tertentu saja, karena azas ini hanya merupakan penyamarataan secara empiris saja dan hanya benar pada situasi dan kondisi yang lebih terbatas, sehingga terkadang azas ini menjadi bahan pertentangan. Namun demikian sebaliknya apabila suatu azaz sudah diuji berkali-kali dan hasilnya terus dapat dipertahankan, maka azas ini dapat berubah statusnya menjadi hukum. Begitu pula apabila azas yang mentah masih berupa dugaan ilmiah seorang penelitian, biasa disebut hipotesis. Hipotesis ini dapat menjadi azas apabila diuji secara terus menerus sehingga mempoler kesimpulan adanya kebenaran yang dapat diterapkan secara umum. Untuk mendapatkan azas baru dengan cara pengujian hipotesis ini disebut cara induksi dan kebanyakan dipergunakan dalam bidang-bidang biologi, komia, fisika. Disini metode membuat kesimpulan yang menyeluruh, sebaliknya cara lain yaitu dengan cara dedukasi dengn menggunakan kesimpulan umum untuk menerangkan kejadian yang spesifik. Ada beberapa azas pengetahuan lingkungan. myulifar, 2015:
1.      Azas 1 (Hukum termodinamika).
Azas 1 ini disebut juga dengan hukum koservasi energi, dalam ilmu fisika sering disebut sebagai hukum termodinamika pertama. Azas ini menerangkan bahwa energi dapat diubah, dan energi yang memasuki jasad hidup, populasi ataupun ekosistem dianggap sebagai energi yang tersimpan ataupun yang terlepaskan, sehingga dapat dikatakan bahwa sustem kehidupan sebagai pengubah energi. Dengan demikian dalam sistem kehidupan dapat ditemukan berbagai strategi untuk mentransformasi energi, maka dibutuhkan “pembukuan masukan dan keluaran kalori dalam sistem kehidupan”.
2.      Azas 2 ( tak ada sistem pengubahan energi yang betul-betul efisien).
Azas ini tak lain adalah hukum thermodinamika II, ini berarti energi yang tak pernah hilang dari alam raya, tetapi energi tersebut akan terus diubah dalam bentuk yang kurang bermanfaat. Azas ini sama dengan hukum termodinamika kedua dalam ilmu fisika. Hal ini berarti meskipun energi itu tidak pernah hilang, namun demikian energi tersebut akan diubah dalam bentuk yang kurang bermanfaat. Secara keseluruhan energi di planet kita ini terdegradasi dalam bentuk panas tanpa balik, yang kemudian beradiasi ke angkasa. Dalam sistem biologi, energi yang dimanfaatkan baik oleh jasad hidup, populasi maupun ekosistem kurang efisien, karena masukan energi dapat dipindahkan dan digunakan oleh organisme hidup yang lain.
3.      Azas 3 (Materi,energi,ruang, waktu, dan keanekaragaman,termasuk katagori sumberdaya alam.)
Pengubahan energi oleh sistem biologi harus berlangsung pada kecepatan yang sebanding dengan adanya materi dan energi dilingkungannya. Pengaruh ruang secara azas adalah beranalogia dengan materi dan energi sebagai sumber alam.
4.      Azas 4 (untuk semua katagori sumber daya alam, kalau pengadaanya sudah mencapai optimum, Pengaruh unit kenaikannya sering menurut dengan penambahan sumber alam itu sampai kesuatu tingkat maksimum. Melampaui bata maksimum ini tak akan ada pengaruh mengntungkan lagi.)
Untuk semua katagori sumber alam (kecuali keanakaragaman dan waktu) kenaikan pengadaannya yang melampui batas maksimum, bahkan akan berpengaruh merusak karena kesan peracunan. Ini adalah azas penjenuhan. Untuk banyak gejala sering berlaku kemungkinan penghacuran yang disebabkan oelh pengadaan sumber alam yang sudah mendekati batas maksimum, azas 4 tersebut terkandung arti bahwa pengadaan sumber alam mempunya batas optimum, yang berarti pula batas maksimum mampun batas minimum pengadaan sumberalam akan mengurangi daya kegiatan sistem biologis.
5.      Azas 5
Pada azas 5 ini ada dua hal penting, pertama jenis sumber alam yang tidak dapat menimbulkan rangsagan untuk penggunaan lebih lanjut, sedangkan kedua sumber yang dapat menimbulkan rangsangan untuk dapat digunakan lebih lanjut.
6.      Azas 6
Individu dan spesies yang mempunya lebih banyak keturunan daripada saingannya, cendurung berhasil mengalahakan saingannya. Azas ini adalah pernyataan teori darwin dan wallace. Pada jasad hidup terdapat perbedaan sifat keturunan dalam hal tingkat adaptasi terhadap faktor lingkungan fisik atau biologi. Kemudian timbul kenaikan kepadatan populasi sehingga timbul persaingan. Jasad hidup yang kurang mampu beradaptasi akan kalah dalam persaingan. Dapat diartikan pula jasad hidup yang adaptif akan mampu menghasilkan banyak keuturunan daripada yang non-adaptif, pada azas ini ebrlaku “seleksi alam”.
7.      Azas 7
Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam “Mudah diramal”. “Mudah diramal” adanya keteraturan yang pasti pada pola faktor lingkungan pada suatu periode yang raltif lama terdapat fluktuasi turun-naiknya kondisi lingkungan di semua habitat, tetapi mudah dan sukarnya untuk diramalkan berbeda dari suatu habitat ke habitat lain. Dengan mengetahui keadaan optimum pada faktor lingkungan bagi kehidupan suatu spesies, maka perlu diketahu berapa lama keadaan tersebut dapat bertahan.
8.      Azas 8
Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson, bergantung kepada bagaimana niche dalam lingkungan hidup itu dapat memisahkan takson tersebut. Pada azas ini menyatakan bahwa setiap spesies mempunya nicia tertentu, sehingga spesies-spesies tersebut dapat berdampingan satu sama lain tanpa berkompetisi. Karena satu sama lain mempunya kepentingan dan fungsi yang berbeda di alam. Tetapi apabila ada kelompok taksonomi yang terdiri atas spesies dengan cara makan serupa, dan teleran terhadap lingkungan yang bermacam-macam serta luas, maka jelas bahwa lingkungan tersebut hanya akan ditempati oleh spesies yang keanekaragamannya kecil.
9.      Azas 9
Keanekaragaman komunitas sebanding dengan biomassa dibagi produktivitas,
Azas ini mengandung arti, bahwa efisiensi penggunaan aliran energi dalam sistem biologi akan meningkat dengan meningkatnya kompleksitas organisasi sistem biologi dalam suatu komunitas. Pada azas ini menurut Morowitz (1968) bahwa adanya hubungan antara biomassa, aliran energi dan keanekanragaman dalam suatu sistem biologi.
10.  Azas 10
Pada lingkungan yang stabil perbandingan antara biomassa dengan produktivitas (B/P) dalam perjalanan waktu naik mencapai sebuah asimtot. Dalam azas ini dapat disimpulkan bahwa sistem biologi mengalami evolusi yang mengarah kepada peningkatan efisiensi penggunaan energi dalam lingkungan fisini yang stabil, yang memungkinkan berkembangnya keanekaragaman. Dengan kata lain kalau kemungkinan produktivitas maksimum sudah ditetapkan oleh nergi matahari yang masuk kedalam ekosistem, sedangkan keanekaragaman biomassa masih dapat meninggkat dalam perjalanan waktu.
11.  Azas 11
Sistem yang sudah mantap (dewasa) akan mengekploitasi yang belum mantap (belum dewasa). Dari azas ini adalah pada ekosistem, populasi yang sdah dewasa memindahkan energi, biomassa, dan keanekaragaman tingkat organisasi ke arah yang belum dewasa.
12.  Azas 12
Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung pada kepentingan relatifnya dalam keadaan suatu lingkungan. Azas ini merupakan kelanjutan dari azas 6 dan 7. Apabila pemilihan(seleksi) berlaku. Tetapi keanekaragaman terus meningkat dilingkungan yang sudah stabil, makan dalam perjalan waktu dapat diharpkan adanya perbaikan terus-menurus dalam sifat adaptasi terhadap lingkungan.
13.  Azas 13
Lingkungan yang secara fisik mantap memungkinkan terjadinya penimbunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap. Yang kemudian dapat menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi. Azas ini merupakan penjabaran dari azas 7,9 dan 12 pada komunitas yang mantap, jumlah jalur energi yang masuk melalui ekosistem meningkat, sehingga apabila terjadi suatu goncangan pada salah satu jalur, makan jalaur yang lain akan mengambil alih dengan demikian komunitas masih tetatap terjaga kemantapnnya. Apabila kemantapan lingkungan fisik merupakan suatu syarat bagi keanekagaraman biologi, maka kemantapan faktor fisik itu akan mendukung kemantapan populasi dalam ekosistem yang mantap dan komunitas yang mantap mempunya umpan balik yang sangat kompleks.
14.  Azas 14
Azas ini merupakan kebalikan dari azas ke 13, tidak adanya keanekaragaman yang tinggi pada rantai makanan dalam ekosistem yang belum mantap, menimbulkan derajat ketidakstabilan populasi yang tinggi.
Ciri-ciri lingkungan/ komunitas yang mantap.
a.       Jumlah jalur energi yang masuk melalui ekosistem meningkat (banyak)
b.      Lingkungan fisik mantap (mudah “diramal”)
c.       Sistem kontrol umpan balik (feedback) komunitas sangat kompleks
d.      Efisiensi penggunaan energi
e.       Tingkat keanekaragaman tinggi
BAB III
Pembahasan

3.1       Kasus Sumberdaya Alam di Solo




Banjir bandang yang menerjang ‎Solo bagian utara akibat luapan Kali Pepe  menyisakan lumpuhnya aktivitas 10 sekolah dan 1 Puskesmas, kerusakan sejumlah aset pemerintah maupun warga serta tumpukan sampah di mana-mana. Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Surakarta, Gatot Sutanto, menyebut bahwa banjir yang terjadi, merupakan banjir bandang, karena luapan air dengan arus deras tiba-tiba datang memasuki area pemukiman warga.
Selain menyisakan tumpukan sampah di berbagai lokasi, kerusakan aset pemerintah dan warga juga tak terhindarkan. Selain itu sedikitnya 10 sekolah dan 1 Puskesmas di Solo lumpuh dari aktivitas selama dua hari ini. Pihaknya bersama warga dibantu TNI/Polri saat sedang bahu-membahu menyingkirkan sampah serta membenahi kerusakan fasilitas publik. Diharapkan sekolah dan Puskesmas bisa dipergunakan untuk aktivitas.
"Fokus pembersihan dan pembenahan dilakukan di sejumlah kantor pelayanan publik dan sekolah yang lumpuh akibat banjir. Kita melakukan kerja ekstra dibantu warga, TNI/Polri, Tim BPBD sekitar Solo dan Magelang, dengan target kantor pelayanan publik dan sekolah bisa beroperasi lagi.
Pembersihan sampah sisa banjir, lanjut Gatot, dibutuhkan waktu cukup lama. ‎Apalagi membenahi semua kerusakan akibat banjir bandang tersebut. Sedangkan kerugian akibat banjir, belum bisa diperhitungkan secara pasti, namum dipastikan mencapai ratusan juta rupiah.
Sementara itu ‎Kasubag Humas Polresta Surakarta, AKP Sis Raniwati, mengatakan 600 personel anggota Polresta Surakarta diperbantukan untuk ikut membersihkan sampah sisa banjir. Mereka ditempatkan di 10 titik di Kecamatan Banjarsari, yang merupakan lokasi paling parah diterjang banjir bandang.‎ Lokasi kerja bakti polisi itu dilakukan di kantor kecamatan, kantor kelurahan, SMKN 9, RSUD, Puskesmas, kantor KPU Kota dan sejumlah tempat lainnya. Di satu titik, ditempatkan 50 hingga 60 personil polisi.

3.2       Pembahasan Kasus
Berdasarkan kasus sumberdaya alam diatas,  kami setuju dengan,  tindakan cepat kepala badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) Kota Surakarta, Gatot Sutanto, menyebut bahwa banjir yang terjadi merupakan banjir bandang, karena luapan air dengan arus deras tiba-tiba datang memasuki areal pemukiman warga. Fokus pembersihan dan pembenahan dilakukan di sejumlah kantor pelayanan publik dan sekolah yang lumpuh akibat banjir. Kita melakukan kerja ekstra dibantu warga, TNI/Polri, Tim BPBD sekitar Solo dan Magelang, dengan target kantor pelayanan publik dan sekolah bisa beroperasi lagi."

Jumat, 01 Mei 2015

Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo


Tugas Minggu Ke-3 
Ilmu Pengetahuan Lingkungan
 
Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo

Pada bulan Agustus tahun 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengeluarkan putusan bahwa bencana Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat. Keputusan Komnas HAM ini diambil berdasarkan pemungutan suara di kalangan komisionernya. Dari 11 orang komisioner, 5 orang (Syafruddin Ngulma Simeulue, Kabul Supriyadhie, Nur Khalis, Munir Mulkhan dan Saharudin Daming) sepakat menyatakan bahwa Lumpur Lapindo adalah kejahatan HAM berat, sementara 6 orang yang lain (Ifdhal Kasim, Yosep Adi Prasetyo, Johny Nelson Simanjuntak, M. Ridha Saleh, Hesti Armiwulan dan Ahmad Baso) menyatakan bahwa Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat (Nugroho, 2012). Tulisan ini, akan melihat argumentasi di balik putusan tersebut.
Komnas HAM, melalui salah satu komisionernya yang terlibat dalam pemungutan suara yang disampaikan di atas, M. Ridha Saleh, menyatakan bahwa mereka memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam kategori pemusnahan lingkungan atau ekosida dan menilai bahwa kejahatan ini termasuk ke dalam kejahatan berat dan berdampak sangat luas bagi kehidupan manusia, tetapi mereka tidak bisa menggunakan argumen pelanggaran HAM berat karena menurut Undang-undang Nomer 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut UU 26/2000) hanya ada dua kategori yang masuk pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan kemanusiaan dan genosida. Karena itu, kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diperlakukan sebagai pelanggaran HAM berat, meskipun ada sebanyak 15 poin pelanggaran HAM dalam kasus ini. Tetapi Komnas HAM sepakat bahwa kasus ini bukan bencana alam. Dan sebagai rekomendasi, Komnas HAM memasukkan klausul ekosida dalam draft amandemen UU 26/2000.
Komnas HAM juga mengaku kesulitan memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam pelanggaran HAM berat karena yurisprudensi pelanggaran HAM berat dilakukan oleh negara, bukan korporasi (Desiyani, 2012). Apa itu ‘pelanggaran HAM berat?’ Pasal 7 UU 26/2000 menjelaskan bahwa ada dua macam pelanggaran HAM berat yaitu
1.      kejahatan genosida; dan
2.      kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam kasus Lumpur Lapindo, yang paling relevan didiskusikan adalah ‘kejahatan terhadap kemanusiaan.’ Selanjutnya Pasal 9 UU 26/2000 menyebutkan, ‘Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a) pembunuhan;
b) pemusnahan;
c) perbudakan;
d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional;
f) penyiksaan;
g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jems kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; dan i)penghilangan orang secara paksa; atau
j) kejahatan apartheid.’
Ada dua hal yang paling relevan dieksplorasi lebih lanjut sehubungan dengan kasus Lumpur Lapindo. Pertama adalah kriteria ‘perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Poin ini bisa dipecah menjadi bagian ‘meluas atau sistematik’ dan ‘ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Kedua adalah permasalahan yang berhubungan dengan poin ‘d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.’ Mari kita lihat satu-per satu.
Tidak dijelaskan apa pengertian ‘meluas atau sistematik’ dalam bagian ‘penjelasan’ UU 26/2000. Karena itu, untuk tahap pertama akan diambil kategori ‘meluas’ dengan pengertian ‘bertambah luas.’ Kategori ‘meluas’ jelas terpenuhi dalam kasus Lumpur Lapindo. Hal ini dapat kita lihat dari 4 Perpres yang berhubungan dengan kasus ini. Pertama adalah Perpres 14/2007 yang memasukkan daerah Desa Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan Renokenongo ke dalam peta area terdampak. Kedua, Perpres 48/2008 yang menambahkan Desa Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring ke dalam area terdampak. Ketiga, Perpres 40/2009 yang menambahkan RT 1, RT 2, RT 3, d a n RT 12 Rukun Warga (RW) 12 Desa Siring Barat; RT 1 dan RT 2 RW 1 Desa Jatirejo dan RT 10, RT 13, dan RT 15 RW 2 Desa Mindi. Keempat, Perpres 37/2012 yang menambahkan beberapa RT dan hamparan sawah di Desa Besuki, Kelurahan Mindi, Desa Pamotan, Kelurahan Gedang, Desa Ketapang, Desa Gempolsari, Desa Kalitengah, dan Desa Wunut ke dalam area terdampak. Kriteria kedua adalah ‘ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Bagian ini dieksplorasi lebih lanjut pada bagian ‘Penjelasan’ terhadap Pasal 9 UU 26/2000 yang menyatakan bahwa ‘Yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.’
Dalam hal ini kasus Lumpur Lapindo adalah jelas ‘kebijakan penguasa’ berupa pemberian izin terhadap pemboran eksplorasi di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), milik PT. Lapindo Brantas Inc. (LBI). Ini berarti, tulisan ini sudah mengambil posisi bahwa penyebab terjadinya bencana Lumpur Lapindo adalah aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Untuk itu, perlu diulas sedikit mengenai permasalahan ini.
Seperti yang sudah saya sampaikan dalam berbagai kesempatan (Batubara, 2009a; Batubara, 2011; Batubara dan Utomo, 2010 dan 2012; dan Batubara, akan segera terbit) bahwa secara umum ada dua kelompok pendapat di kalangan geosaintis tentang penyebab terjadinya Lumpur Lapindo. Kelompok pertama adalah yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Kelompok kedua adalah yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo dipicu oleh reaktivasi patahan Watukosek akibat adanya gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (dua hari sebelum seburan Lumpur Lapindo). Saya berada di kelompok pertama. Perlu saya tegaskan di sini, ada dua argumen kunci yang saya pegang sehingga saya memilih posisi ini.
Pertama, saya mengacu ke Manga (2007) yang berdasarkan data gempa bumi menyatakan bahwa gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 terlalu jauh jaraknya dan terlalu kecil magnitude-nya untuk memicu semburan lumpur di daerah Porong. Kedua saya mengacu
ke Tingay et al. (2008) yang menampilkan data bahwa selubung pemboran (casing) di sumur BJP-1 dipasang lebih pendek dari yang direncanakan. Menurut saya, inilah jantung dalam perdebatan penyebab Lumpur Lapindo. Dan sampai saat ini, sependek yang dapat saya ikuti, dua fakta kunci ini belum pernah terbantahkan. Secara logika, melalui studi yang sangat bagus terhadap kasus-kasus pengadilan bencana industri di seluruh dunia, Wibisana (2011) menunjukkan bahwa keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang menerima argumen pihak Lapindo bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa bumi Yogyakarta, mengandung cacat.
Dengan demikian, sekarang kita akan melihat proses pengeboran sumur BJP-1. Dalam sejarahnya, kehadiran sumur ini sudah bermasalah. Masalah terletak pada dua hal. Pertama, masalah letak. Posisi sumur BJP-1 tidak sesuai dengan rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu itu belum diubah). RTRW Sidoarjo termaksud menyatakan bahwa lokasi sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non-kawasan, bukan untuk pertambangan (Subagyo, 2010). Masalah kedua terletak pada informasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan kepada warga bahwa tanah lokasi sumur BJP-1 dibeli bukan untuk pengeboran, tetapi untuk kandang ayam (Batubara dan Utomo, 2010).
Tahapan berikutnya adalah apakah kebijakan pemberian izin (oleh penguasa) ini masuk dalam kategori ‘suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil?’ Jelas jawabannya adalah ya. Karena korban yang timbul dalam kasus Lumpur Lapindo terutama adalah masyarakat beberapa desa seperti terdapat dalam empat Perpres di atas. Berdasarkan Peta Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan Realisasi Hasil Verifikasi Ganti Rugi Lahan Terdampak yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada bulan Februari tahun 2008, tercatat jumlah korban di area terdampak (waktu itu) adalah sebanyak 37.850 jiwa.
Kesemua korban yang disebutkan di atas mengalami perpindahan secara terpaksa dan hal ini memberikan dampak yang sangat mendalam terhadap kehidupan ekonomi (Batubara, 2009b), budaya, relasi gender, relasi intergenerasi (Fauzan dan Batubara, 2010) bahkan memori mereka (Batubara, 2009c). Hal terakhir memenuhi kategori Pasal 9 UU 26/2000 ayat ‘d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.’ Argumen tentang yurisprudensi kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara juga terasa tidak tepat. Karena yurisprudensi dijadikan sebagai salah sumber hukum apabila suatu peristiwa hukum belum jelas penanganannya dalam undang-undang.
Dalam kasus Lumpur Lapindo, berdasarkan analisis di atas, UU 26/2000 sudah cukup untuk menanganinya tanpa perlu menuggu ‘ekosida’ diatur dalam UU 26/2000 (yang mungkin akan diamandemen). Argumentasi tulisan ini menyangkut yurisprudensi pelanggaran HAM berat semakin kuat karena dalam kasus Indonesia dewasa ini, pasca Orde Baru, telah terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam struktur kekuasaan di Indonesia. Pada zaman Orde Baru, negara sangat kuat sehingga sangat wajar pelanggaran HAM berat dilakukan oleh negara. Pada era ekonomi neoliberal pasca Orde Baru, korporasilah yang menguat (Batubara, 2009; Saleh 2012). Pada tahun 2009-2011 Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan 14.377 konflik antara petani dan investor. Sementara Komnas HAM sendiri menerima pengaduan pelanggaran HAM sebanyak 10.139 kasus pada rentang dua tahun terhitung surut dari bulan Juni 2012, dimana 1.557 kasus diantaranya adalah konflik agraria dan sumber daya alam (Kompas, 2012). Meskipun tidak jelas berapa komposisi konflik yang melibatkan perusahaan dalam pengaduan yang masuk ke Komnas HAM pada kisaran dua tahun di atas, akan tetapi sangat beralasan memprediksi bahwa presentasi konflik yang melibatkan korporasi pasti sangat besar. Dan, meskipun bukan sebuah perbandingan yang proporsional, tetapi untuk mendapatkan gambaran konteks Orde Baru, kita bisa melihat data kasus tanah yang ditangani Komnas HAM pada tahun 1994 dengan jumlah 101 kasus dan 168 kasus pada tahun 1995 (Lopa, 1996).
Berdasarkan analisis seperti yang disampaikan di atas, maka bagi saya sangat layak kalau dinyatakan bahwa kasus Lumpur Lapindo adalah pelanggaran HAM berat. Saya sangat ingin membaca laporan/diskusi/dokumen lengkap dari investigasi/rapat/sidang Komnas HAM ketika para komisioner memutuskan kasus Lumpur Lapindo sebagai ‘bukan pelanggaran HAM berat’ pada pertengahan tahun 2012 yang lalu. Sayang sekali, sampai sekarang saya tidak/belum bisa memperolehnya.***
Bosman Batubara, MA dari Interuniversity Programme in Water Reosurces Engineering, K.U. Leuven dan V.U. Brussel, Belgia
Kepustakaan:
Batubara, B. dan Utomo, P. W., 2010. “Praktik Bisnis di Banjir Lumpur,” dalam: H. Prasetia dan B. Batubara, (editor), 2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil. Lafadl Initiative, Yayasan Desantara dan Indonesia Sustainable Energy and Environment, Depok.
Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo. INSIST
PRESS, Yogyakarta.
Batubara, B., (akan terbit). “Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Lapindo,” dalam A. Novenanto, (akan terbit). Membingkai Lapindo:
Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo, (Sebuah Bunga Rampai).
Batubara, B., 2009. Jawaban bagi Tantangan. Jurnal Disastrum 1(1), 5-11
Batubara, B., 2009a. Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Sidoarjo. Disastrum, 1(1), 13-25.
Batubara, B., 2009b. Problematika dan Siasat Ekonomi Perempuan Porong. Jurnal Srinthil Edisi 20, Perempuan di Atas Lumpur, 48-63.
Batubara, B., 2009c. Resistance Through Memory. Inside Indonesia Magazine, (101) Jul-Sep 2010. Artikel ini dapat diakses di:
http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/resistance-through-memory; terakhir diakses pada tanggal 22 Februari 2013.
Batubara, B., 2011. When the Law Betrays, Literature Must Speak. Inside Indonesia Magazine, (105) Jul-Sep
2011. Artikel ini dapat dibaca di: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/review-the-lapindo-titanic;
terakhir dibuka 23 Februari 2013.
BPLS, 2008. Peta Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan Realisasi Hasil Verifikasi Ganti Rugi Lahan Terdampak Wilayah Kerja Penanggulangan Lumpur Sidaorjo.
Desiyani, A., 2012. Komnas HAM: Lumpur Lapindo Memusnahkan Lingkungan. tempo.co, 15 Agustus 2012, 22.49 WIB. Dapat
diakses di http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/173423593/Komnas-HAM–Lumpur-Lapindo-Musnahkan-Lingkungan; diakses
pada tanggal 21 Februari 2013.
Fauzan, A.U. dan Batubara, B., 2010. Displacement and Changing Gender and Intergenerational Relations: Experience of Hot Mudflow Affected Family in East Java, Indonesia. Artikel dipresentasikan pada: 1)International Conference on Migration, Gender and Human Security in an Era of Global Structural Change and Crisis, Institute of Social Studies (ISS), The Hague, Netherland; dan
2)International Conference on Economic Stress, Human Capital, and Families in Asia: Research and Policy Challenges, 3-4 Juni 2010 di National University of Singapore. Laporan tentang konferensi ini dapat diakses di:
http://www.ari.nus.edu.sg/docs/downloads/Reports-and-Proceedings/EconomicReport.pdf; diakses terakhir pada 22 Februari 2013.
Kompas, 2012. Memaknai Pembangunan: Dirampok Keserakahan dan Kerakusan. Kompas, 12 Juni 2012, halaman 6.
Lopa, B., 1996. Dilema Masalah Tanah. Kompas, 21 Agustus 1996, halaman 4.
Manga, M., 2007. Did an Earthquake Trigger the May 2006 Eruption of the Lusi Mud Volcano? EOS Vol 88, No. 18, p. 201. Doi:
10.1029/2007EO180009.
Nugroho, A.S., 2012. Komnas HAM Putuskan Lumpur Lapindo Bukan Pelanggaran HAM Berat. Jurnas.com, 09 Agustus 2012 17:27
WIB. Dapat diakses di:
http://www.jurnas.com/news/68499/Komnas_HAM_Putuskan_Lumpur_Lapindo_Bukan_Pelanggaran_HAM_Berat/1/Nasional/Hukum.
Diakses terakhir kali pada tanggal 21 Februari 2013.
Perpres 14/2007
Perpres 37/2012
Perpres 40/2009
Perpres 48/2008
Saleh, R.M., 2012. Memberantas Impunitas Korporasi. Kompas, 6 januari 2012, halaman 6.
Subagyo, 2010. Lumpur Lapindo dan Hukum Usang. Kompas, 31 Mei 2010, halaman 6.
Tingay, M., Heidbach, O., Davies, R. and Swarbrick, R., 2008. Triggering of the Lusi Mud Eruption: Earthquake vs. Drilling Initiation.
Geology, 36, p. 639-642.
UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Wibisana, A.,G., 2011. Tangan Tuhan di pengadilan: Dalih Bencana Alam dan Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus
Lingkungan. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No. 1 Januari-Maret, halaman 102-52.