Tugas Minggu Ke-3
Ilmu Pengetahuan Lingkungan
Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo
Pada bulan Agustus tahun 2012, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengeluarkan putusan bahwa bencana Lumpur
Lapindo bukan pelanggaran HAM berat. Keputusan Komnas HAM ini diambil berdasarkan
pemungutan suara di kalangan komisionernya. Dari 11 orang komisioner, 5 orang
(Syafruddin Ngulma Simeulue, Kabul Supriyadhie, Nur Khalis, Munir Mulkhan dan Saharudin
Daming) sepakat menyatakan bahwa Lumpur Lapindo adalah kejahatan HAM berat,
sementara 6 orang yang lain (Ifdhal Kasim, Yosep Adi Prasetyo, Johny Nelson
Simanjuntak, M. Ridha Saleh, Hesti Armiwulan dan Ahmad Baso) menyatakan bahwa Lumpur
Lapindo bukan pelanggaran HAM berat (Nugroho, 2012). Tulisan ini, akan melihat
argumentasi di balik putusan tersebut.
Komnas HAM, melalui salah satu
komisionernya yang terlibat dalam pemungutan suara yang disampaikan di atas, M.
Ridha Saleh, menyatakan bahwa mereka memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam
kategori pemusnahan lingkungan atau ekosida dan menilai bahwa kejahatan ini
termasuk ke dalam kejahatan berat dan berdampak sangat luas bagi kehidupan
manusia, tetapi mereka tidak bisa menggunakan argumen pelanggaran HAM berat
karena menurut Undang-undang Nomer 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
(selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut UU 26/2000) hanya ada dua kategori
yang masuk pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan kemanusiaan dan genosida.
Karena itu, kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diperlakukan sebagai pelanggaran HAM
berat, meskipun ada sebanyak 15 poin pelanggaran HAM dalam kasus ini. Tetapi
Komnas HAM sepakat bahwa kasus ini bukan bencana alam. Dan sebagai rekomendasi,
Komnas HAM memasukkan klausul ekosida dalam draft amandemen UU 26/2000.
Komnas HAM juga mengaku kesulitan
memasukkan kasus Lumpur Lapindo ke dalam pelanggaran HAM berat karena
yurisprudensi pelanggaran HAM berat dilakukan oleh negara, bukan korporasi
(Desiyani, 2012). Apa itu ‘pelanggaran HAM berat?’ Pasal 7 UU 26/2000
menjelaskan bahwa ada dua macam pelanggaran HAM berat yaitu
1.
kejahatan genosida; dan
2.
kejahatan terhadap
kemanusiaan. Dalam kasus Lumpur Lapindo, yang paling relevan didiskusikan adalah
‘kejahatan terhadap kemanusiaan.’ Selanjutnya Pasal 9 UU 26/2000 menyebutkan,
‘Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a) pembunuhan;
b) pemusnahan;
c) perbudakan;
d) pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa;
e) perampasan kemerdekaan
atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar
(asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional;
f) penyiksaan;
g) perkosaan, perbudakan
seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau
sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h) penganiayaan terhadap
suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jems kelamin atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
dan i)penghilangan orang secara paksa; atau
j) kejahatan apartheid.’
Ada dua hal yang paling relevan
dieksplorasi lebih lanjut sehubungan dengan kasus Lumpur Lapindo. Pertama adalah
kriteria ‘perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil.’ Poin ini bisa dipecah menjadi bagian ‘meluas atau
sistematik’ dan ‘ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.’ Kedua adalah
permasalahan yang berhubungan dengan poin ‘d) pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa.’ Mari kita lihat satu-per satu.
Tidak dijelaskan apa pengertian
‘meluas atau sistematik’ dalam bagian ‘penjelasan’ UU 26/2000. Karena itu,
untuk tahap pertama akan diambil kategori ‘meluas’ dengan pengertian ‘bertambah
luas.’ Kategori ‘meluas’ jelas terpenuhi dalam kasus Lumpur Lapindo. Hal ini
dapat kita lihat dari 4 Perpres yang berhubungan dengan kasus ini. Pertama adalah
Perpres 14/2007 yang memasukkan daerah Desa Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan
Renokenongo ke dalam peta area terdampak. Kedua, Perpres 48/2008 yang
menambahkan Desa Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring ke dalam area terdampak.
Ketiga, Perpres 40/2009 yang menambahkan RT 1, RT 2, RT 3, d a n RT 12
Rukun Warga (RW) 12 Desa Siring Barat; RT 1 dan RT 2 RW 1 Desa Jatirejo dan RT
10, RT 13, dan RT 15 RW 2 Desa Mindi. Keempat, Perpres 37/2012 yang menambahkan
beberapa RT dan hamparan sawah di Desa Besuki, Kelurahan Mindi, Desa Pamotan,
Kelurahan Gedang, Desa Ketapang, Desa Gempolsari, Desa Kalitengah, dan Desa
Wunut ke dalam area terdampak. Kriteria kedua adalah ‘ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil.’ Bagian ini dieksplorasi lebih lanjut pada bagian ‘Penjelasan’
terhadap Pasal 9 UU 26/2000 yang menyatakan bahwa ‘Yang dimaksud dengan
“serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah suatu
rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan
penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.’
Dalam hal ini kasus Lumpur Lapindo
adalah jelas ‘kebijakan penguasa’ berupa pemberian izin terhadap pemboran
eksplorasi di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), milik PT. Lapindo Brantas Inc.
(LBI). Ini berarti, tulisan ini sudah mengambil posisi bahwa penyebab terjadinya
bencana Lumpur Lapindo adalah aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Untuk itu,
perlu diulas sedikit mengenai permasalahan ini.
Seperti yang sudah saya sampaikan
dalam berbagai kesempatan (Batubara, 2009a; Batubara, 2011; Batubara dan Utomo,
2010 dan 2012; dan Batubara, akan segera terbit) bahwa secara umum ada dua
kelompok pendapat di kalangan geosaintis tentang penyebab terjadinya Lumpur
Lapindo. Kelompok pertama adalah yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo
disebabkan oleh aktivitas pemboran di sumur BJP-1. Kelompok kedua adalah
yang berpendapat bahwa Lumpur Lapindo dipicu oleh reaktivasi patahan Watukosek
akibat adanya gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (dua hari sebelum seburan Lumpur
Lapindo). Saya berada di kelompok pertama. Perlu saya tegaskan di sini, ada dua
argumen kunci yang saya pegang sehingga saya memilih posisi ini.
Pertama, saya mengacu ke Manga (2007) yang berdasarkan data gempa bumi
menyatakan bahwa gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 terlalu jauh jaraknya dan
terlalu kecil magnitude-nya untuk memicu semburan lumpur di daerah
Porong. Kedua saya mengacu
ke Tingay et al. (2008) yang menampilkan data bahwa
selubung pemboran (casing) di sumur BJP-1 dipasang lebih pendek dari
yang direncanakan. Menurut saya, inilah jantung dalam perdebatan penyebab
Lumpur Lapindo. Dan sampai saat ini, sependek yang dapat saya ikuti, dua fakta
kunci ini belum pernah terbantahkan. Secara logika, melalui studi yang sangat
bagus terhadap kasus-kasus pengadilan bencana industri di seluruh dunia,
Wibisana (2011) menunjukkan bahwa keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan
(Jaksel) yang menerima argumen pihak Lapindo bahwa Lumpur Lapindo disebabkan
oleh gempa bumi Yogyakarta, mengandung cacat.
Dengan demikian, sekarang kita akan
melihat proses pengeboran sumur BJP-1. Dalam sejarahnya, kehadiran sumur ini
sudah bermasalah. Masalah terletak pada dua hal. Pertama, masalah letak.
Posisi sumur BJP-1 tidak sesuai dengan rencana tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu itu belum diubah).
RTRW Sidoarjo termaksud menyatakan bahwa lokasi sumur BJP-1 tersebut adalah
untuk kegiatan industri non-kawasan, bukan untuk pertambangan (Subagyo, 2010).
Masalah kedua terletak pada informasi yang disampaikan oleh pihak
perusahaan kepada warga bahwa tanah lokasi sumur BJP-1 dibeli bukan untuk
pengeboran, tetapi untuk kandang ayam (Batubara dan Utomo, 2010).
Tahapan berikutnya adalah apakah
kebijakan pemberian izin (oleh penguasa) ini masuk dalam kategori ‘suatu
rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil?’ Jelas jawabannya
adalah ya. Karena korban yang timbul dalam kasus Lumpur Lapindo terutama adalah
masyarakat beberapa desa seperti terdapat dalam empat Perpres di atas.
Berdasarkan Peta Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan Realisasi Hasil
Verifikasi Ganti Rugi Lahan Terdampak yang dikeluarkan oleh Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada bulan Februari tahun 2008, tercatat
jumlah korban di area terdampak (waktu itu) adalah sebanyak 37.850 jiwa.
Kesemua korban yang disebutkan di atas
mengalami perpindahan secara terpaksa dan hal ini memberikan dampak yang sangat
mendalam terhadap kehidupan ekonomi (Batubara, 2009b), budaya, relasi gender,
relasi intergenerasi (Fauzan dan Batubara, 2010) bahkan memori mereka
(Batubara, 2009c). Hal terakhir memenuhi kategori Pasal 9 UU 26/2000 ayat ‘d)
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.’ Argumen tentang
yurisprudensi kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara juga
terasa tidak tepat. Karena yurisprudensi dijadikan sebagai salah sumber hukum
apabila suatu peristiwa hukum belum jelas penanganannya dalam undang-undang.
Dalam kasus Lumpur Lapindo,
berdasarkan analisis di atas, UU 26/2000 sudah cukup untuk menanganinya tanpa
perlu menuggu ‘ekosida’ diatur dalam UU 26/2000 (yang mungkin akan
diamandemen). Argumentasi tulisan ini menyangkut yurisprudensi pelanggaran HAM
berat semakin kuat karena dalam kasus Indonesia dewasa ini, pasca Orde Baru,
telah terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam struktur kekuasaan di Indonesia.
Pada zaman Orde Baru, negara sangat kuat sehingga sangat wajar pelanggaran HAM
berat dilakukan oleh negara. Pada era ekonomi neoliberal pasca Orde Baru,
korporasilah yang menguat (Batubara, 2009; Saleh 2012). Pada tahun 2009-2011
Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan
14.377 konflik antara petani dan investor. Sementara Komnas HAM sendiri
menerima pengaduan pelanggaran HAM sebanyak 10.139 kasus pada rentang dua tahun
terhitung surut dari bulan Juni 2012, dimana 1.557 kasus diantaranya adalah
konflik agraria dan sumber daya alam (Kompas, 2012). Meskipun tidak jelas
berapa komposisi konflik yang melibatkan perusahaan dalam pengaduan yang masuk
ke Komnas HAM pada kisaran dua tahun di atas, akan tetapi sangat beralasan
memprediksi bahwa presentasi konflik yang melibatkan korporasi pasti sangat besar.
Dan, meskipun bukan sebuah perbandingan yang proporsional, tetapi untuk
mendapatkan gambaran konteks Orde Baru, kita bisa melihat data kasus tanah yang
ditangani Komnas HAM pada tahun 1994 dengan jumlah 101 kasus dan 168 kasus pada
tahun 1995 (Lopa, 1996).
Berdasarkan analisis seperti yang
disampaikan di atas, maka bagi saya sangat layak kalau dinyatakan bahwa kasus
Lumpur Lapindo adalah pelanggaran HAM berat. Saya sangat ingin membaca
laporan/diskusi/dokumen lengkap dari investigasi/rapat/sidang Komnas HAM ketika
para komisioner memutuskan kasus Lumpur Lapindo sebagai ‘bukan pelanggaran HAM
berat’ pada pertengahan tahun 2012 yang lalu. Sayang sekali, sampai sekarang
saya tidak/belum bisa memperolehnya.***
Bosman Batubara, MA dari
Interuniversity Programme in Water Reosurces Engineering, K.U. Leuven dan V.U.
Brussel, Belgia
Kepustakaan:
Batubara, B. dan Utomo, P. W., 2010. “Praktik Bisnis di Banjir
Lumpur,” dalam: H. Prasetia dan B. Batubara, (editor), 2010. Bencana Industri:
Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil. Lafadl Initiative, Yayasan
Desantara dan Indonesia Sustainable Energy and Environment, Depok.
Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo:
Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo. INSIST
PRESS, Yogyakarta.
Batubara, B., (akan terbit). “Perdebatan tentang Penyebab Lumpur
Lapindo,” dalam A. Novenanto, (akan terbit). Membingkai Lapindo:
Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo, (Sebuah Bunga Rampai).
Batubara, B., 2009. Jawaban bagi Tantangan. Jurnal
Disastrum 1(1), 5-11
Batubara, B., 2009a. Perdebatan tentang Penyebab Lumpur
Sidoarjo. Disastrum, 1(1), 13-25.
Batubara, B., 2009b. Problematika dan Siasat Ekonomi
Perempuan Porong. Jurnal Srinthil Edisi 20, Perempuan di Atas Lumpur, 48-63.
Batubara, B., 2009c. Resistance Through Memory. Inside
Indonesia Magazine, (101) Jul-Sep 2010. Artikel ini dapat diakses di:
http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/resistance-through-memory; terakhir diakses pada tanggal 22 Februari 2013.
Batubara, B., 2011. When the Law Betrays, Literature Must
Speak. Inside Indonesia Magazine, (105) Jul-Sep
2011. Artikel ini dapat dibaca di: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/review-the-lapindo-titanic;
terakhir dibuka 23 Februari 2013.
BPLS, 2008. Peta Klasifikasi Lahan Area Terdampak dan
Realisasi Hasil Verifikasi Ganti Rugi Lahan Terdampak Wilayah Kerja Penanggulangan
Lumpur Sidaorjo.
Desiyani, A., 2012. Komnas HAM: Lumpur Lapindo Memusnahkan
Lingkungan. tempo.co, 15 Agustus 2012, 22.49 WIB. Dapat
diakses di http://www.tempo.co/read/news/2012/08/14/173423593/Komnas-HAM–Lumpur-Lapindo-Musnahkan-Lingkungan; diakses
pada tanggal 21 Februari 2013.
Fauzan, A.U. dan Batubara, B., 2010. Displacement and
Changing Gender and Intergenerational Relations: Experience of Hot Mudflow
Affected Family in East Java, Indonesia. Artikel dipresentasikan pada:
1)International Conference on Migration, Gender and Human Security in an
Era of Global Structural Change and Crisis, Institute of Social Studies (ISS),
The Hague, Netherland; dan
2)International Conference on Economic Stress, Human Capital,
and Families in Asia: Research and Policy Challenges, 3-4 Juni 2010 di
National University of Singapore. Laporan tentang konferensi ini dapat diakses
di:
http://www.ari.nus.edu.sg/docs/downloads/Reports-and-Proceedings/EconomicReport.pdf; diakses terakhir pada 22 Februari 2013.
Kompas, 2012. Memaknai Pembangunan: Dirampok Keserakahan dan
Kerakusan. Kompas, 12 Juni 2012, halaman 6.
Lopa, B., 1996. Dilema Masalah Tanah. Kompas, 21 Agustus
1996, halaman 4.
Manga, M., 2007. Did an Earthquake Trigger the May 2006
Eruption of the Lusi Mud Volcano? EOS Vol 88, No. 18, p. 201. Doi:
10.1029/2007EO180009.
Nugroho, A.S., 2012. Komnas HAM Putuskan Lumpur Lapindo Bukan
Pelanggaran HAM Berat. Jurnas.com, 09 Agustus 2012 17:27
WIB. Dapat diakses di:
http://www.jurnas.com/news/68499/Komnas_HAM_Putuskan_Lumpur_Lapindo_Bukan_Pelanggaran_HAM_Berat/1/Nasional/Hukum.
Diakses terakhir kali pada tanggal 21 Februari 2013.
Perpres 14/2007
Perpres 37/2012
Perpres 40/2009
Perpres 48/2008
Saleh, R.M., 2012. Memberantas Impunitas Korporasi. Kompas, 6
januari 2012, halaman 6.
Subagyo, 2010. Lumpur Lapindo dan Hukum Usang. Kompas, 31
Mei 2010, halaman 6.
Tingay, M., Heidbach, O., Davies, R. and Swarbrick, R., 2008. Triggering
of the Lusi Mud Eruption: Earthquake vs. Drilling Initiation.
Geology, 36, p. 639-642.
UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Wibisana, A.,G., 2011. Tangan Tuhan di pengadilan: Dalih
Bencana Alam dan Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus
Lingkungan. Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-41 No. 1 Januari-Maret, halaman 102-52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar