Peristiwa kekerasan antara warga dengan pihak perusahaan di Mesuji, baik yang berada di Lampung maupun di Sumatera Selatan, bukanlah hal baru.
Seperti antara warga Desa Sungai Sodong dengan PT SWA dan warga warga Kampung Sri Tanjung, Mesuji, dengan PT Barat Selatan Makmur Invesindo (BSMI), yang berdampak pengurasakan bangunan hingga memakan korban sebenarnya bukan hal baru.
Di daerah yang dulunya termasuk wilayah Kerajaan Tulangbawang, sebuah kerajaan tua sebelum Kerajaan Sriwijaya berdiri ini sering kali terjadi bentrokan antara massa dengan sebuah perusahaan. Pada 13 dan 15 Desember 1998, ribuan petambak di PT Wachyuni Mandira (WM) melakukan perlawanan dengan pihak perusahaan.
Kekerasan terjadi terhadap petambak yang diduga dilakukan aparat keamanan dan karyawan. Sementara para petambak merusak aset milik perusahaan Sjamsul Nursalim, sang koruptor yang hingga kini belum tertangkap.
Peristiwa ini mendapat perhatian dari Human Rights Watch (HRW), sebuah organisasi pemantau hak asasi manusia (HRW). Saat itu Sidney Jones, ketika masih bekerja di HRW, melakukan investigasi ke lokasi konflik, termasuk dilakukan aktifis Munir yang juga turut memperjuangkan persoalan tersebut.
Namun, akhirnya perjuangan petambak yang menuntut kejelasan kepemilikan tambak sebagai plasma tetap kandas, justru puluhan petambak yang dituduh sebagai provokator disidangkan dan dipenjara. Pada saat yang sama, bentrokan juga terjadi di perusahaan PT Dipasena, juga perusahaan penambakan udang milik Sjamsul Nursalim yang menguasai
Bumi Dipasena seluas 16.200 hektare.
Berbeda dengan PT WM yang kini cenderung tenang. Konflik di lokasi petambakan udang di Bumi Dipasena terus berlanjut, meskipun yang mengelola petambakan berpindah tangan ke perusahaan PT AWS (Aruna Wijaya Sakti). Selama hampir setahun ini warga memblokir semua jalan menuju lokasi di Bumi Dipasena, yang merupakan petambakan udang terbesar di Asia Tenggara, sehingga sebanyak 7.700 petambak tidak dapat berbudi daya udang.
Tetapi, di tengah kecemasan orang akan konflik di Bumi Dipasena, justru muncul konflik antara warga Kampung Sri Tanjung, Mesuji, dengan PT Barat Selatan Makmur Invesindo (BSMI) yang menewaskan satu orang warga dan beberapa orang terluka akibat peluru dari aparat keamanan. Konflik ini bersama konflik berdarah di Sungai Sodong, Mesuji, Sumatera Selatan, tengah diinvestigasi oleh pemerintah, terkait dengan dugaan pelanggaran HAM.
Meskipun belum menjurus ke konflik berdarah, pemerintah jangan melupakan konflik antara warga dengan PT AWS, yang sebetulnya memiliki potensi ledakan lebih besar. Sebab berdasarkan informasi yang didapat, para petambak tradisional kecewa dengan PT AWS yang tidak mematuhi kesepakatan yang dibuat, hasil kesepakatan warga dengan PT AWS, yang
dimediasi beberapa pihak, termasuk Komnas HAM.
Dari beberapa data di atas, para pengusaha, pemerintah, dan aparat keamanan, tampaknya harus memiliki strategi baru dalam mengembangkan usahanya di kawasan Mesuji dan Tulangbawang, sehingga di masa
mendatang, konflik dapat dihentikan. Mungkin langkah yang harus diambil, seperti diungkapkan JJ Polong, seorang aktifis dari Serikat Petani Indonesia (SPI), tanah warga yang diambil harus dikembalikan, dan hentikan semua langkah yang menggusur tanah warga, khususnya tanah ulayat.
Seperti antara warga Desa Sungai Sodong dengan PT SWA dan warga warga Kampung Sri Tanjung, Mesuji, dengan PT Barat Selatan Makmur Invesindo (BSMI), yang berdampak pengurasakan bangunan hingga memakan korban sebenarnya bukan hal baru.
Di daerah yang dulunya termasuk wilayah Kerajaan Tulangbawang, sebuah kerajaan tua sebelum Kerajaan Sriwijaya berdiri ini sering kali terjadi bentrokan antara massa dengan sebuah perusahaan. Pada 13 dan 15 Desember 1998, ribuan petambak di PT Wachyuni Mandira (WM) melakukan perlawanan dengan pihak perusahaan.
Kekerasan terjadi terhadap petambak yang diduga dilakukan aparat keamanan dan karyawan. Sementara para petambak merusak aset milik perusahaan Sjamsul Nursalim, sang koruptor yang hingga kini belum tertangkap.
Peristiwa ini mendapat perhatian dari Human Rights Watch (HRW), sebuah organisasi pemantau hak asasi manusia (HRW). Saat itu Sidney Jones, ketika masih bekerja di HRW, melakukan investigasi ke lokasi konflik, termasuk dilakukan aktifis Munir yang juga turut memperjuangkan persoalan tersebut.
Namun, akhirnya perjuangan petambak yang menuntut kejelasan kepemilikan tambak sebagai plasma tetap kandas, justru puluhan petambak yang dituduh sebagai provokator disidangkan dan dipenjara. Pada saat yang sama, bentrokan juga terjadi di perusahaan PT Dipasena, juga perusahaan penambakan udang milik Sjamsul Nursalim yang menguasai
Bumi Dipasena seluas 16.200 hektare.
Berbeda dengan PT WM yang kini cenderung tenang. Konflik di lokasi petambakan udang di Bumi Dipasena terus berlanjut, meskipun yang mengelola petambakan berpindah tangan ke perusahaan PT AWS (Aruna Wijaya Sakti). Selama hampir setahun ini warga memblokir semua jalan menuju lokasi di Bumi Dipasena, yang merupakan petambakan udang terbesar di Asia Tenggara, sehingga sebanyak 7.700 petambak tidak dapat berbudi daya udang.
Tetapi, di tengah kecemasan orang akan konflik di Bumi Dipasena, justru muncul konflik antara warga Kampung Sri Tanjung, Mesuji, dengan PT Barat Selatan Makmur Invesindo (BSMI) yang menewaskan satu orang warga dan beberapa orang terluka akibat peluru dari aparat keamanan. Konflik ini bersama konflik berdarah di Sungai Sodong, Mesuji, Sumatera Selatan, tengah diinvestigasi oleh pemerintah, terkait dengan dugaan pelanggaran HAM.
Meskipun belum menjurus ke konflik berdarah, pemerintah jangan melupakan konflik antara warga dengan PT AWS, yang sebetulnya memiliki potensi ledakan lebih besar. Sebab berdasarkan informasi yang didapat, para petambak tradisional kecewa dengan PT AWS yang tidak mematuhi kesepakatan yang dibuat, hasil kesepakatan warga dengan PT AWS, yang
dimediasi beberapa pihak, termasuk Komnas HAM.
Dari beberapa data di atas, para pengusaha, pemerintah, dan aparat keamanan, tampaknya harus memiliki strategi baru dalam mengembangkan usahanya di kawasan Mesuji dan Tulangbawang, sehingga di masa
mendatang, konflik dapat dihentikan. Mungkin langkah yang harus diambil, seperti diungkapkan JJ Polong, seorang aktifis dari Serikat Petani Indonesia (SPI), tanah warga yang diambil harus dikembalikan, dan hentikan semua langkah yang menggusur tanah warga, khususnya tanah ulayat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar