Tanggal 10 Agustus 2012, saya mendampingi Jusuf Kalla ketika bertemu Presiden Myanmar U Thein Sein di Myanmar.
Presiden yang membuka jalan demokrasi di negeri pagoda tersebut mengeluh kepada Kalla atas pemberitaan mengenai konflik komunal di negerinya: antara etnis Rohingya dan etnis lainnya, yang dinilainya tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya.Presiden Myanmar menilai Kalla adalah orang yang punya pengalaman dan rekam jejak di bidang perdamaian, khususnya di Ambon, Poso, dan Aceh, sehingga meminta sarannya. Kalla mengingatkan, pemberitaan memang bisa liar ke mana-mana bila kesan ketertutupan dipelihara.Maka, jalan keluar yang paling baik: buka pintu informasi seluas-luasnya. Buka pintu tempat konflik itu berlangsung. Biar syak wasangka bisa ditepis. Hari itu juga, Presiden Myanmar mempersilakan Kalla bersama timnya berkunjung ke Provinsi Rakhine, tempat konflik komunal itu.Akibat konflik komunal tersebut, lebih dari 70 orang meninggal, lebih dari 3.000 bangunan rusak, dan hampir 60.000 orang kehilangan tempat tinggal. Maka, yang pertama harus dilakukan adalah segera merehabilitasi bangunan, terutama rumah ibadah.Tidak boleh ada puing-puing yang jadi penanda dan pemicu rasa marah dan dendam. Tidak boleh ada reruntuhan yang bisa dipersepsikan sebagai monumen kekalahan di satu pihak dan kemenangan di pihak lain.Setelah itu, rumah dan tempat tinggal dibangun ulang supaya penduduk kedua belah pihak bisa kembali hidup dengan kepastian. Bila mereka tetap di penampungan sementara, rasa kegelisahan mengenai kepastian masa depan bisa memicu amuk dan memotivasi perang kembali.Langkah berikutnya, sekolah-sekolah kembali dibangun. Dengan sekolah, anak-anak kedua belah pihak bisa kembali menapaki masa depan mereka. Kepastian tentang eloknya masa depan itulah yang membuat orang atau kelompok masyarakat hidup secara harmoni.Berbarengan dengan itu, kebutuhan utama para pengungsi: makanan, minuman, air bersih, dan masalah kesehatan juga jadi keniscayaan. Kebutuhan dasar ini harus disiapkan agar mereka tak merasa bahwa lantaran konflik dan kekerasan hidup mereka menjadi penuh nestapa.Akar masalah: kemiskinanBanyak pihak mempersepsikan konflik komunal di Myanmar kali ini adalah konflik agama: Islam versus Buddha. Sejatinya, konflik komunal di Myanmar tidak ada kaitannya dengan agama. Kebetulan saja etnis Rohingya menganut Islam sementara yang lain Buddha dan Kristen.Dalam konteks ini, konflik komunal terjadi karena masalah kemiskinan. Provinsi Rakhine adalah provinsi termiskin dari 13 provinsi di Myanmar.Kemiskinan dengan mudah menyulut api kemarahan karena sensitivitas dalam segala hal selalu terjadi. Malah, sebenarnya, lebih ada kemungkinan pengaruh perbedaan etnis yang menjadi sumbu konflik dibanding kemungkinan pengaruh agama.Myanmar adalah negara dengan tingkat kemajemukan etnis yang amat tinggi. Bahkan, tujuh provinsi di negara itu dibangun di atas landasan etnisitas. Bukan sekadar yurisdiksi geografis.Di sinilah urgensinya, mengapa kita harus menahan diri untuk tidak terburu-buru bereaksi dan menyikapi konflik komunal di Myanmar sebagai konflik agama. Penilaian tergesa-gesa bukan menyelesaikan soal, malah acap kali justru menambah runyam.Untuk penyelesaian jangka panjang, Pemerintah Myanmar harus menerima kenyataan: etnis Rohingya yang berasal dari etnis Bengali (Banglades) adalah warga negara Myanmar yang memiliki status yuridis, sama dengan etnis lain.Dengan demikian, status kewarganegaraan etnis Rohingya harus diperjelas dan dituntaskan. Status yang tidak jelas bisa dipersepsikan sebagai tindakan diskriminatif dan melahirkan rasa ketidakadilan.Ketika kami meninggalkan Myanmar menuju Tanah Air, dari atas saya melihat betapa eloknya Myanmar. Betapa damai negeri ini dengan pepohonan rimbun, hamparan sawah yang luas, dan air yang mengalir tenang.Lalu, saya pun teringat ucapan seorang raja, 2.500 tahun silam: ”Hanyalah damai, bukan konflik dan kekerasan yang bisa berbicara tentang eloknya masa depan.” Perspektif inilah yang seyogianya kita pakai dalam menyikapi konflik di Myanmar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar